K.H. Hasan Basyari Hamami, S.Pd.i. merupakan seorang tokoh agama terkemuka di Pameungpeuk sekaligus sebagai pemimpin Pondok Pesantren Mardliyah dan ketua MUI Kecamatan Pameungpeuk, Garut Selatan. Beliau sangat disegani dan dihormati oleh masyarakat Pameungpeuk. K.H. Hasan Basyari yang akrab disapa Haji Basyar, merupakan anak dari K.H. Hamami dan Hj. R.E. Sariningrum dan juga cucu dari H. Hasan Basyari ( Empuh ) dan Hj Siti Mardliyah ( Embi ). K.H. Haji Basyar merupakan anak ke empat dari tujuh bersaudara. Perawakannya yang tinggi berisi semakin membuat K.H. Basyar terlihat berwibawa.
Pondok Pesantren Mardliyah yang dipimpin oleh Haji Basyar adalah salah satu pondok pesantren yang terkenal di Pameungpeuk Garut. Pondok pesantren ini sudah didirikan oleh ayahanda haji Basyar, K.H. Hamami pada tahun 1943. Pada tahun 1943 ponpes ini masih berbentuk kobong hingga pada tahun 2014 Haji Basyar membawa pembaharuan pada pondok pesantren ini dengan meresmikan ponpes ini ke KEMENAG. Pondok Pesantren yang dipimpin oleh Haji Basyar tahun demi tahun semakin berkembang. Kini ponpes ini memiliki dua jenjang pendidikan yakni SMP/ sederajat yang dinamai dengan MTS Mardliyah dan SMA/ sederajat dengan diberi nama MA Mardliyah. Jumlah peserta didik tahun ini pada jenjang MTs kurang lebih sebanyak 300 orang sedangkan tingkat MA kurang lebih ada 180 orang. Terdapat 16 ruang kelas di tingkat MTs dan 6 ruang kelas ditingkat MA.
Latar belakang pembuatan pondok pesantren ini dibangun karena wasiat dari nenek Haji Basyar yaitu Hj.Siti Mardliyah.“Namanya Mardliyah karena nenek saya (Embi) yakni Hj Siti Mardliyah telah mewakafkan tanahnya, beliau berpesan untuk kami cucu-cucunya agar tanah tersebut digunakan untuk kepentingan masyarakat Pameungpeuk. Masyarakat Pameungpeuk harus menjadi manusia-manusia yang berpendidikan dan agamis. Dari amanat dan wasiat itulah kami mendirikan pondok pesantren Mardliyah ini.” ucap beliau sambil menunjukkan beberapa gambar dalam sebuah album foto. Beliau juga mengatakan bahwa santri di pondok pesantren ini tidak hanya dari sekolah MTs dan MA Mardliyah saja tetapi ada banyak sekali santri dari sekolah SMP dan SMA lain yang ikut mengaji pada malam hari sambil tersenyum beliau mengatakan “Santri Kalong disebatna teh” yang memiliki arti (santri kelelawar disebutnya).
Sebelum KH Basyar menjadi pemimpin pondok pesantren ini, ia menuntut ilmu di berbagai sekolah keagamaan. Tahun 1968 beliau menamatkan sekolah dasar lalu beliau melanjutkan pendidikan ke SMP PGRI Tarogong sembari menjadi santri di Pesantren Al-Huda Tarogong. Tahun 1974 beliau melanjutkan pendidikan ke Pesantren Miftahul Huda Manonjaya. Tahun 1979 beliau melanjutkan pendidikannya ke Lembaga Bahasa Arab Jakarta, saat berkuliah beliau mendapatkan beasiswa. Kurang lebih dua tahun beliau menuntut ilmu di sana, teman-teman beliau ada yang melanjutkan ke Riyad, Arab dan lainnya tetapi beliau memilih untuk kembali ke kampung halaman untuk mengabdikan dirinya kepada masyarakat “Ilmu dan pengetahuan yang saya dapatkan harus dibagikan dan diterapkan untuk anak-anak disini (Pameungpeuk) agar berkah” ucap beliau. Setelah memilih pulang ke kampung halaman, beliau menjadi tenaga pengajar di Pondok Pesantren Mardliyah.
Selain menjadi pemimpin Pondok Pesantren Mardliyah, beliau juga merupakan ketua MUI Kecamatan Pameungpeuk dan menjabat selama empat periode. “Tos 40 tahun di MUI Kecamatan Pamengpek teh. November 2024 nanti akhir jabatanna” ujarnya.
Selama beliau menjadi pimpinan Pondok Pesantren Mardliyah, banyak sekali cobaan yang beliau lalui “Namanya juga perjuangan pasti ada cobaan dan ujian, tetapi kita harus yakin dan percaya bahwa Allah akan membantu kita. Alhamdulilah berkat pertolongan dari Allah saya mampu melewatinya hingga sampai di titik ini.” ungkap beliau. Begitu pula selama beliau menjadi ketua MUI Pameungpeuk banyak sekali halang rintang yang beliau hadapi.
Hal yang paling berkesan selama berkecimpung dalam dunia pendidikan adalah ketika melihat anak-anak didiknya sukses dan bermanfaat bagi masyarakat. Banyak dari murid beliau yang menjadi PNS, TNI, POLRI, wiraswasta, petani dan profesi lainnya “Saya bangga sama anak didik saya ada yang jadi TNI, POLRI, PNS dan selain itu, meskipun bukan PNS saja tapi saya bangga karena apa pun itu, apa pun pekerjaannya mereka sudah bermanfaat bagi masyarakat” ucap Haji Basyar.
Selama beliau menjadi Kyai di Pameungpeuk, beliau telah merasakan pahit manisnya hidup di tengah masyarakat pesisir dengan segala problem yang ada. Termasuk pahit manisnya mensyiarkan ilmu agama di Pameungpeuk. Ada hal yang menarik yang beliau sampaikan, yakni pada zaman dahulu di Pameungpeuk rutin diadakan acara yang bernama Hajat Laut. Hajat laut adalah acara kearifan lokal yang dilakukan masyarakat di sekitar pesisir pantai Sayang Heulang dan Santolo setiap bulan Muharam dengan cara mempersembahkan sesajen berupa kepala kerbau, tumpeng, buah-buahan dan beberapa barang tertentu yang dihanyutkan ke laut oleh para nelayan yang tujuannya untuk dipersembahkan kepada “Makhluk nu ngageugeuh laut” yaitu Nyi Roro Kidul sebagai rasa syukur mereka terhadap hasil laut. Masyarakat pesisir dulu percaya bahwa jika tidak melaksanakan ritual hajat laut maka keselamatan nelayan dalam mencari ikan di laut menjadi taruhannya.
“Kalau dari pandangan saya silakan saja jika ingin melakukan kegiatan dalam rangka bersyukur atas hasil laut karena memang kegiatan tersebut sudah berlangsung dari dulu namun ada beberapa yang harus diluruskan terkait tata caranya dan tujuan bersyukurnya harus pada Allah Swt jangan pada makhluk ghoib, agama Islam adalah agama mayoritas yang dianut masyarakat pesisir Pamengpek sehingga sudah menjadi kewjiban untuk menaati aturan Islam. Dalam Q.S Al-Baqarah ayat 173 yang artinya Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan ( daging ) hewan yang disembelih dengan ( menyebut nama ) selain Allah. “ tutur beliau.
Setelah Haji Basyar selaku ketua MUI Pameungpeuk melakukan pendekatan dan pemberian pemahaman kepada masyarakat pesisir, akhirnya masyarakat pun paham dan mengerti bahwa ada beberapa hal dalam acara hajat laut yang perlu untuk diubah tanpa mengurangi esensi dan kearifan kegiatan tersebut. Perlu perjuangan untuk meluruskan akidah masyarakat pesisir tetapi K.H. Basyar beserta rekan-rekan dari pihak MUI tidak gampang menyerah. Mereka terus mengusahakan dan mengupayakan dengan berbagai cara, dengan pendekatan dan pemberian pemahaman akhirnya masyarakat Pameungpeuk paham bahwa sejatinya rasa syukur terhadap hasil laut dan keselamatan nelayan sepenuhnya ada pada takdir Allah Swt bukan karena hasil dari sesajen yang diberikan pada Nyi Roro Kidul.
Kegiatan budaya hajat laut masih ada sampai sekarang, namun ritual menghanyutkan sesajen dan kepala kerbau untuk yang Ngageugeuh, Nyi Roro kidul sudah tidak ada lagi. Kini kegiatan hajat laut diganti dengan ungkapan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa. Pada saat ini kegiatan hajat laut diisi dengan berbagai acara arak-arakan di laut, pentas seni dan budaya seperti seni tari, pencak silat, khitanan masal serta lomba-lomba lalu ditutup dengan acara tabligh akbar dan makan bersama-sama dengan tetangga yang disebut oleh masyarakat pesisir dengan sebutan “Mayor”. “Tahun kemarin juga itu di hajat laut mengundang pendakwah yang sedang naik daun, ya itu Hj.Aah “ ungkap beliau.
Budaya adalah ciri khas suatu bangsa. Namun jika unsur-unsurnya bertentangan dengan aturan Tuhan maka bukan budayanya yang dihilangkan namun benahilah kekeliruannya agar budaya bangsa tetap lestari. Saat ini zaman sudah berkembang, kita harus bisa memilah dan memilih, oleh karena itu marilah kita tetap menjaga budaya warisan nenek moyang kita yang menjadi ciri khas bangsa kita namun kita juga harus memerhatikan aspek nilai agama di dalamnya. Kita adalah mahluk Tuhan yang Maha Esa dan kita juga adalah makhluk sosial yang harus mempertahankan budaya kita, karena bangsa yang kaya adalah mereka yang menjaga, melestarikan, dan merawat budayanya sendiri.
Hal menarik lainnya yang ditemui oleh K.H.Basyar yaitu banyak sekali organisasi keagamaan yang berbeda-beda pandangan di Pameungpeuk. Berbeda dari segi mazhabnya, tata cara ibadah dan lain sebagainya. Namun itu semua bukan menjadi penghalang bagi masyarakat Pameungpeuk untuk bersatu bersama, dan bergandengan tangan di tengah perbedaan mazhab yang terjadi. K.H. Basyar selaku ketua MUI Pameungpeuk memberi arahan pada setiap organisasi keagamaan yaitu “Meskipun berbeda kita tetap sama yakni agama Islam, dan Indonesia.” Pada saat terjadi perbedaan menentukan 1 Syawal di Pameungpeuk, beliau selaku ketua MUI memberi arahan agar itu tidak menjadikan pembatas dan penyekat antar umat Islam di Pameungpeuk ini
Selain perbedaan mazhab, di Pameungpeuk juga ada sebagian masyarakat yang berbeda keyakinan. “Di Pameungpeuk juga ada yang berbeda keyakinan, namun itu bukan menjadi suatu permasalahan dan bukan menjadi suatu sumber perpecahan. Kita sama yakni Indonesia, Bhineka Tunggal ika, Pancasila. Namun, perlu diperhatikan dalam hal ibadah kita masing-masing tidak boleh adanya paksaan dalam menjalankan ibadah, tetapi dalam kehidupan sosial kita jangan membeda bedakan meski pun orang tersebut berbeda keyakinan dengan kita, kita harus tetap menolongnya. Karena pada hakikatnya manusia adalah mahluk sosial dan tidak boleh membeda bedakan. Pada saat ibadah kita harus toleransi, toleransi di sini bukan berarti kita ikut ibadah mereka atau mereka ikut ibadah kita tetapi toleransi di sini adalah kita menjalankan ibadah kita masing-masing tanpa mengganggu satu sama lainnya. Meskipun kita memiliki keyakinan berbeda namun kita sama yakni Indonesia, Bhineka Tunggal Ika, dan Pancasila” tuturnya dengan penuh kharismatik.
Hal yang dapat kita ambil dari sosok K.H. Hasan Basyari adalah kegigihan, ketekunan, kesabaran dalam mengurus pondok pesantren, menjadi ketua MUI dan pada saat mensyiarkan agama. Selain itu rasa toleransi dan saling menghargai yang terdapat dalam diri beliau dapat menjadi contoh bagi kita.
Kesimpulannya adalah meskipun kita berbeda namun kita tetap sama yakni Indonesia, Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila. Indonesia kaya akan budaya dan adat istiadat. Meskipun berbeda , tetapi kita harus tetap saling tolong-menolong, hormat-menghormati, harga- menghargai agar terciptanya kehidupan yang damai, aman, rukun, dan tentram, demi mewujudkan Indonesia yang sejahtera.
Ada sebuah kalimat bijak yang disampaikan oleh KH Hasan Basyari Hamami. “Daripada menggali lubang-lubang perpecahan lebih baik mencari titik persamaan”.