Kebijakan Desentralisasi Media Berpotensi Rugikan Kepala Daerah, Kominfo Diminta Fokus Klarifikasi Isu Bukan Alih Wewenang

KERINCI – JAMBI, KilasNusantara.id — Polemik mengenai arah kebijakan pengelolaan anggaran kerja sama media di Kabupaten Kerinci untuk tahun 2026 mulai menuai perhatian publik.

Rencana Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) untuk menyerahkan pengelolaan kerja sama media kepada masing-masing Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dinilai dapat menimbulkan dampak buruk bagi citra kepala daerah dan tata kelola komunikasi pemerintah.

Kebijakan ini muncul di tengah merebaknya pemberitaan miring yang menuding Diskominfo tidak transparan dalam pengelolaan anggaran media.

Padahal, tudingan tersebut sejatinya telah dibantah dengan data: Diskominfo Kerinci pada tahun 2025 telah menjalin kerja sama resmi dengan 94 media, seluruhnya dilakukan secara terbuka, tertib administrasi, dan sesuai ketentuan hukum perpajakan, termasuk pemotongan PPh Pasal 23 dan PPN sebagaimana diatur dalam UU HPP, PMK 141/PMK.03/2015, dan PMK 59/PMK.03/2022.

Lebih jauh, Diskominfo bahkan telah berinovasi melalui SIMPERS (Sistem Informasi Manajemen Pers) platform digital yang mengelola kerja sama media secara online, transparan, dan terpantau publik. Sistem ini telah menjadi rujukan bagi daerah lain di Provinsi Jambi dan dikenal efektif dalam mencegah penyimpangan.

Namun, alih-alih memperkuat kepercayaan publik dengan klarifikasi resmi dan terbuka terhadap isu yang beredar, Diskominfo justru mengusulkan agar pengelolaan anggaran kerja sama media dikembalikan ke masing-masing OPD mulai tahun 2026.
Langkah ini dinilai tidak strategis dan berisiko menimbulkan lebih banyak masalah dibanding manfaatnya.

DAMPAK NEGATIF BAGI KEPALA DAERAH
Beberapa analis komunikasi publik menilai, jika kebijakan ini benar dijalankan, maka kepala daerah akan menanggung risiko politik dan reputasi yang besar.
Adapun dampak buruk yang mungkin timbul antara lain:

1. Kehilangan kendali komunikasi publik secara terpusat.
Tanpa koordinasi langsung di bawah Diskominfo, setiap OPD bisa menyampaikan narasi berbeda tentang program pemerintah. Hal ini akan menimbulkan kesan bahwa kebijakan daerah tidak terarah dan tidak sinkron.

2. Meningkatnya risiko disinformasi dan pemberitaan liar.
Dengan banyaknya OPD yang berhubungan langsung dengan media tanpa satu pintu, sangat mungkin muncul berita yang tidak terverifikasi atau bahkan kontradiktif, yang dapat merusak citra kepala daerah.

3. Citra kepemimpinan Bupati bisa terganggu.
Dalam situasi politik dan sosial yang dinamis, komunikasi publik yang tidak terkendali dapat dengan cepat dipolitisasi, dan ujungnya bisa menyeret nama kepala daerah seolah-olah gagal mengendalikan aparatur dan sistem informasinya.

4. Potensi tumpang tindih anggaran dan rawan penyimpangan.
Tidak semua OPD memiliki pemahaman teknis tentang manajemen media dan aturan perpajakan. Akibatnya, penggunaan anggaran publikasi bisa tidak seragam dan berisiko menimbulkan temuan administrasi.

5. Menurunnya efektivitas pesan pembangunan daerah.
Selama ini Diskominfo menjadi pengendali narasi tunggal yang menyatukan informasi pembangunan. Jika peran ini terpecah, publik bisa kehilangan arah informasi yang seharusnya membangun kepercayaan terhadap pemerintah daerah.

PERLU LANGKAH KLARIFIKASI, BUKAM DESENTRALISASI
Sejumlah pihak menilai, Diskominfo seharusnya tidak tergesa mengambil langkah menyerahkan kewenangan ke OPD, tetapi lebih fokus melakukan klarifikasi terbuka terhadap pemberitaan miring yang menyerang instansi tersebut.

Transparansi yang disertai bukti, laporan publik, dan keterbukaan data dianggap jauh lebih efektif untuk memulihkan kepercayaan publik daripada mengubah sistem yang selama ini sudah berjalan baik.

“SIMPERS adalah sistem yang sudah terbukti terbuka dan efisien. Justru langkah terbaik saat ini adalah memperkuat transparansi melalui publikasi data dan klarifikasi, bukan melepas kendali ke banyak tangan,” ujar salah satu pemerhati kebijakan publik di Kerinci.

Langkah penyerahan wewenang ke OPD justru dikhawatirkan membebani.

(Dominaldi)