Daerah  

Demokrasi Dalam Konteks Pilkada Secara Garis Besar Dipahami Sebagai Mekanisme Paling Sah Dalam menyalurkan Kehendak Rakyat untuk memilih

kilasNusantara.id Demokrasi dalam konteks Pilkada secara Garis Besar dipahami sebagai mekanisme paling sah dalam menyalurkan kehendak rakyat untuk memilih pemimpin Daerah, dengan janji keterwakilan yang menyeluruh dan legitimasi yang kuat dari dan atas nama rakyat. Pilkada sebagai manifestasi lokal dari demokrasi sering diklaim sebagai pesta rakyat yang mengembalikan hak politik kepada publik. Pilkada memungkinkan rakyat memilih pemimpin yang diyakini dapat membawa perubahan.

Namun faktanya tidak semua orang mampu bersaing secara terbuka karena kuatnya hegemoni oligarki Contohnya di bidang politik adalah terkait kekuasaan dalam suatu daerah demokrasi, partai politik pemenang pemilu akan menguasai lembaga-lembaga pemerintahan dan menggunakan kekuasaannya untuk mempengaruhi opini publik. Namun apakah pilkada benar-benar merefleksikan aspirasi rakyat ataukah hanya menjadi alat bagi elite untuk mempertahankan kekuasaan?

Pilkada yang diharapkan menjadi ajang pemilihan langsung pemimpin daerah, terkadang malah menjadi arena perebutan kekuasaan Politik oligarki yang diwarnai dengan politik transaksional Money Politic dan keterlibatan elite nasional dalam urusan daerah. Hal ini membuat masyarakat merasa bahwa suara mereka tidak berpengaruh banyak terhadap perubahan yang diharapkan.
Dalam beberapa even politik sebelumnya, isu politik uang kerap mencuat ke permukaan dan menjadi sesuatu yang lazim dan permisif. Politik uang menciptakan hubungan transaksional antara kandidat dan pemilih, di mana suara pemilih ‘dibeli’ dengan imbalan tertentu. Praktik ini jelas merusak prinsip demokrasi yang idealnya murni berdasarkan pilihan rakyat yang rasional. Politik uang juga memperlihatkan bagaimana oligarki masih memiliki pengaruh besar dalam proses politik di Banten.
Dalam kerangka itu, para oligark yang memiliki akses terhadap sumber daya besar mampu mempengaruhi hasil sebuah even politik seperti Pemilu dan Pilkada melalui sokongan dana yang mereka berikan kepada kandidat tertentu.

Fenomena ini membuat kontestasi politik tidak lagi adil, karena kandidat yang didukung oleh oligarki memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh kandidat lain apalagi dimiliki rakayat biasa.

Pertanyaan ini bukanlah sekadar retorika, melainkan gugatan mendasar terhadap pemahaman kita tentang demokrasi di Banten.

Realitas menunjukkan bahwa pilkada di Banten makin didominasi oleh jaringan oligarki yang terorganisasi, dengan kekuasaan terkonsentrasi pada segelintir elite politik dan ekonomi. Keterkaitan di antara aktor-aktor ini memicu kekhawatiran bahwa pilkada bukan lagi arena kompetisi politik yang terbuka dan adil, langsung umum bebas dan Rahasia melainkan ajang perebutan sumber daya ekonomi-politik yang didorong oleh kepentingan oligarki.
Pilkada telah mengalami degradasi menjadi suatu proses yang legal secara formal, tapi kehilangan esensi substansinya sebagai mekanisme demokrasi yang sebenarnya. Dalam konteks ini, kita perlu mempertanyakan legitimasi proses tersebut serta sejauh mana pilkada dapat dianggap sebagai perwujudan kedaulatan rakyat atau justru sarana untuk memperkuat kekuasaan kelompok oligarki.

Dari sejumlah pasangan calon dalam kontestasi pilkada di propinsi Banten yang akan dilaksanakan Rabu 27 Nopember 2024 hampir semua pasangan Calon yang bertarung semuanya berlatar belakang dan terafiliasi Politik oligarki tidak banyak figur yang lahir dari dan atas nama Rakyat Rata rata pasangan Calon terkoneksi oleh lingkaran oligarki.

Semoga pilkada kedepan dapat melahirkan putra putri terbaik yang lahir dari proses alamiah yang lahir secara egaliter dari Rahim dan keinginan rakyat sehingga setiap orang mempunyai kesempatan untuk menjadi pemimpin di daerahnya tentunya memiliki kompetensi dan jejak rekam yang baik, Pola politik transaksional yang terstruktur massif mengubur rapat rapat harapan menjadi kepala daerah karena mahalnya ongkos politik dan hegemoni oligarki.

Syekh Khatib Asy-Syirbini dalam kitab Mughni Muhtaj didefinisi tentang Risywah suap Money Politic

الرشوةهي مايبذ ل للغير ليحكم بغيرالحق أوليمتنع من الحكم بالحق

Artinya; “Suap adalah pemberian sesuatu kepada orang lain agar dia memutuskan perkara dengan tidak adil atau agar dia tidak memutuskan perkara dengan adil.” (Asy-Syirbini, Mughni Muhtaj, jilid VI, halaman 288).

Dengan kata lain, suap adalah memberi sesuatu agar seseorang memutuskan sesuatu dengan tidak adil. Sementara Money politic bisa dianggap suap karena bertujuan agar rakyat tidak memilih pemimpin dengan obyektif. Money politic ingin rakyat memilih pemimpin berdasarkan apa yang diberikan saat Money politic, bukan integritas dan kompetensi pemimpin.
Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa suap atau risywah memiliki dampak yang merugikan dalam masyarakat, karena dapat merusak proses demokratis dan menghasilkan pemimpin yang kurang bermoral dan tidak kompeten
Pilkada merupakan sebuah proses pendidikan masyarakat, terutama bagi para generasi muda dan pemilih pemula untuk memilih pemimpin yang ideal (Red)